
MatahariIndonesiaTimur.com, Jakarta –
Ketua Forum Mahasiswa Jakarta Peduli Perumahan Rakyat (FMJP2R) Totok kepada wartawan, ia mengatakan bahwa dirinya mendapatkan informasi telah terjadi kekerasan itu terjadi bukan hanya sekali, namun berulang kali dialami warga pemilik dan penghuni Rusunami Gading Nias Residence, Kelapa Gading (hanya sekitar 10% warga sesuai klaim dari Pengurus PPPSRS), dan nampakna kejadian itu sudah berlangsung lama serta berlarut-larut tanpa penyelesaian.
“ Kami bersama kawan-kawan mendapatkan langsung informasi dari warga, yang kami temui di Kawasan Rusunami Gading Nias Residence, kejadian ini sangat miris dan sangat memprihatinkan di tengah kehidupan masyarakat perkotaan.”ungkap Totok kepada wartawan, Rabu, 9 Juli 2025 di Jakarta.
Menurut Totok, dari penuturan warga, menyebutkan bahwa kejadian ini bermula ketika Pengurus PPPSRS ( Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) melalui Badan Pengelola menaikkan tarif Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) dan Sinking Fund (SF) untuk Rusunami Gading Nias Residendes melalui Rapat Umum Tahunan Anggota (RUTA) tanggal 25 September 2024 yang hanya dihadiri sebagian kecil warga. Dari total 94 orang pemilik unit hunian satuan rumah susun yang menghadiri rapat tsb, 14 orang diantaranya tidak setuju kenaikan tarif Iuran IPL+SF dari Rp.13,000,- menjadi Rp. 15.500,-/m2/bulan (naik 19,2%) lalu berjuang melalui mekanisme yang ada untuk membatalkan kenaikan tersebut
“Adapun mayoritas warga menolak Hasil RUTA itu, ya, mereka menolak dengan beberapa alasan yang mendasari penolakan terhadap Keputusan dalam RUTA 25 September 2024 yang tentunya mengacu pada AD-ART Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun Gading Nias Residencences dan Peraturan Perundang-undangan mengenai pengelolaan rumah susun.” Tukas Totok
Mayoritas Warga Menolak, lanjut Totok, di karenakan Proses undangan rapat yang tidak mengikuti prosedur yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengenai cara pengiriman, bentuk undangan dan batas waktu pelaksanaan RUTA, adanya pembatasan hak partisipasi warga penghuni non pemilik untuk bisa memberikan suara dalam hal penetapan kenaikan IPL+SF, Tidak adanya transparansi dalam laporan pengelolaan dan pertanggung jawaban laporan keuangan perhimpunan oleh pengurus PPPSRS, serta adanya Pemberlakukan kenaikan tarif IPL+SF di tahun buku berjalan yang menyalahi ketentuan dalam AD-ART perhimpunan, selain itu, keputusan tersebut di nilai tidak memiliki unsur keadilan dalam pengelolaan rusunami yang merupakan hunian untuk golongan berpenghasilan menengah ke bawah namun tarif IPL+SF yang dikenakan sudah menyamai atau lebih tinggi dari Apartement Komersil lain dikawasan Jakarta
“ Atas kejadian tersebut, warga telah mengirimkan surat aduan pelanggaran AD ART dan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Rumah Susun oleh pengurus PPPSRS Rusun Gading Nias Residences kepada pengawas PPPSRS, Kepala Dinas PRKP Provinsi DK Jakarta, Walikota Jakarta Utara, Kepala Sudin PRKP Jakarta Utara dan pihak terkait seperti Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Ombudsman dan meminta audiensi kepada PJ Gubernur Kepala Daerah Provinsi DK Jakarta serta kepada Ketua Komisi D DPRD Provinsi DK Jakarta,”tutur Totok yang juga mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta.
Lebih lanjut Totok mengungkapkan bahwa surat aduan dari warga mendapat respon dari pihak Sudin PRKP Jakarta Utara dan pihak Walikota Jakarta Utara, respon itu terjadi setelah mendapatkan atensi dari salah seorang anggota DPRD Provinsi DK Jakarta Dapil Jakut dari PDIP, kemudian warga mendapat kesempatan mediasi diadakan beberapa kali oleh tim Penangangan Sengketa Pengelolaan Rumah Susun yang diketuai oleh tim Sudin PRKP Jakarta Utara, Mediasi dilakukan hingga 2 kali yaitu di tanggal 10 Desember 2024 dan 12 Februari 2025 yang dihadiri oleh anggota DPRD Dapil Jakut dari PDIP. Mediasi berujung deadlock, tidak ada kesepakatan. Pengelola merasa kenaikan IPL sudah sah karena diadakan melalui mekanisme yang sesuai, sementara warga merasa mekanisme tidak sesuai dan tetap menuntut IPL tidak naik.
Meskipun telah terjadi mediasi hingga dua kali, sambung Totok, pada realitasnya ternyata hingga saat ini, Dinas terkait maupun pihak kelurahan masih bersikap ambigu, aparatur pemerintah tersebut tidak membela tuntutan warga namun juga tidak mempermasalahkan sikap pengelola, padahal warga juga sudah melaporkan ke pihak terkait, tentang satu hal yang diputuskan dalam mediasi tanggal 12 Februari 2025 tersebut adalah, selama berstatus sengketa maka warga pemilik/penghuni yang tidak setuju kenaikan tarif IPL+SF diperkenankan membayar IPL tarif lama sesuai ketentuan yang berlaku pada Peraturan Gubernur No.70 Tahun 2021 pasal 102 A, B dan C.
Selanjutnya, imbuh Totok, Untuk mempermudah pembayaran IPL+SF tarif lama tersebut warga juga menuntut pembayaran IPL+SF dipisahkan dengan pembayaran air dan listrik. Selama ini tagihan dijadikan satu sehingga tidak mungkin membayar IPL+SF tarif lama sehingga banyak warga pemilik/penghuni yang tidak setuju kenaikan tarif IPL+SF terpaksa membayar tagihan listrik air bersama dengan IPL+SF tarif baru yang dikenakan oleh Badan Pengelola, warga berharap agar pengelola mengabulkan ini, dan memberikan rekening pembayaran untuk tarif lama bagi warga.
“Namun perjuangan warga pemilik/penghuni yang tidak setuju kenaikan IPL+SF tersebut mendapat tindakan dari pengurus/pengawas PPPSRS melalui Badan Pengelola dengan melakukan tindakan pemblokiran kartu akses beberapa warga yang vocal dan gigih menyuarakan penolakan, sehingga beberapa warga tersebut tidak dapat menggunakan lift untuk mengakses lantai unit huniannya. “ucap Totok.
Sementara itu, Totok juga menyampaikan informasi yang di peroleh dari warga, bahwa Tindakan pemblokiran kartu akses ini telah diadukan korban ke wakil ketua DPRD Provinsi DK Jakarta dan Kemkumham, audiensi dengan Komisi D dilakukan pada tanggal 20 Maret 2025, serta diadukan ke Kemkumham dilakukan pada tanggal 21 Mei 2025. Adapun Kedua lembaga tersebut dalam audiensi jelas menyatakan bahwa pemblokiran ini melanggar hak warga, namun tindak lanjut mengawal hal ini dilapangan belum nampak secara kongkrit.
“Pasca warga beraudensi dengan kedua institusi tersebut, ternyata Kejadian berlanjut, Pengelola menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dalam RUTA (rapat umum tahunan anggota) yang diadakan dua kali, pertama pada tanggal 23 Juni 2025 di Apartemen Gading Nias Residence, namun karena tidak tercapai kuorum kehadiran anggota perhimpunan maka diadakan RUTA ke-2 tanggal 4 Juli 2025 di Gedung Olah Raga Judo Kelapa Gading. “kata Totok
Namun, menurut Totok, sebelum RUTA ke-2 diadakan, pada tanggal 24 Juni 2025 Ketua PPPSSRS melalui kuasa hukum yang ditunjuk oleh pengurus PPPSRS mengirimkan SOMASI kepada beberapa warga yang membayar IPL+SF tarif lama, isi somasi itu adalah agar warga membayar selisih tarif lama IPL+SF yang belum dilunasi. Sedangkan warga mengacu pada hasil mediasi sudin merasa heran karena dalam mediasi itu diputuskan masih bisa membayar IPL lama namun mengapa dilakukan SOMASI, pengaduan warga atas kejadian SOMASI ke dinas dan aparat pemerintahan terkait hanya ditanggapi secara normatif.
“Hasil penelusuran kami, ternyata dalam RUTA ke-2 bahkan beberapa warga yang mempertanyakan hal-hal detail tentang laporan keuangan dan kinerja pengurus, diteriaki oleh warga lain, kemudian terjadi framing juga dilakukan oleh pengurus terhadap warga yang membayar IPL lama sehingga seolah warga tersebut tidak membayar, padahal yang belum dibayar adalah selisih IPL lama dan IPL baru. “tandas Totok
Bahkan, imbuh Totok, pihaknya memperoleh informasi, bahwa salah seorang penyewa yang hadir mempertanyakan laporan keuangan yang seharusnya ditanyakan pada KAP yang memeriksa laporan keuangan, bukan di forum RUTA, anehnya lagi Sungguh ironis mengingat penyewa tersebut mengaku sebagai seorang dosen di salah satu Univesitas Swasta Katolik di Jakarta. RUTA tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan pemerintahan dari Kelurahan hingga Sudin Terkait, namun lagi-lagi melihat jalannya RUTA yang demikian, mereka hanya melihatnya tanpa melakukan hal apapun.
Di akhir perbincangannya dengan wartawan, dirinya menyayangkan sikap dari para pihak, terutama apratur pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, yang dapat berlindung dibalik tupoksi, kondusifitas atau alasan lain. Namun, dari pengamatannya, fenomena di Apartmen Gading Nias Residence ini menunjukkan bahwa keberpihakan pada warga yang mencari keadilan dan mengalami ketertindasan di negara ini masih minim dan perlu jalan panjang,
Kekerasan fisik memang tidak terjadi namun kekerasan bisa saja terjadi dalam bentuk verbal maupun pengabaian yang ironisnya dilakukan oleh sesama warga dan pihak berwenang yang seharusnya punya wewenang untuk mengayomi masyarakat.
“Lebih ironis lagi karena ini terjadi di DKI Jakarta, barometer Indonesia yang mempunyai visi ’kesejahteraan masyarakat nan berkeadilan dan berkelanjutan, oleh karena itu kami sangat mendukung warga pencari keadilan penghuni Rusunami Gading Nias Residence, kami Mendesak Pemprov DKI Jakarta Tidak Tutup Mata Kasus Yang di alami warga penghuni Rusunami Gading Nias Residence.”pungkas Totok